Konsep belajar tuntas atau Mastery Learning adalah pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran baik secara perorangan maupun kelompok sehingga apa yang dipelajari siswa dapat tercapai semua (Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati).
Pada prinsipnya konsep belajar tuntas berusaha menciptakan siswa agar memiliki kemampuan dan mengembangkan bakat atau keterampilan yang dimilikinya. Siswa atau peserta didik yang cerdas dan yang tidak cerdas di usahakan agar memiliki selisi bakat yang tidak jauh. Intinya belajar tuntas mengusahakan siswa mencapai standar kompetensi atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
John B. Carrol (1953) memiliki pandangan bahwa peserta didik yang cerdas atau memiliki kemampuan lebih, dapat mencapai tujuan pembelajaran dalam waktu yang sedikit, jika dibandingkan dengan siswa yang kurang cerdas. Untuk itu, agar semua pembelajaran dapat diserap atau di kuasai semua siswa (baik yang cerdas mau pun tidak), maka perlu pengajaran berkualitas dan waktu belajar yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik.
Dalam buku Differential Education for the Gifted karya Virgil Ward (dalam Semiawan 1997: 113) menjelaskan, proposisi anak yang berbakat sebagai berikut.
1. Pendidikan anak berbakat intelektual berbeda dari siswa (anak) lainnya dan sayogianya amat menekankan aktivitas intelektual.
2. Pembelajaran anak berbakat harus diwarnai kecepatan dan tingkat kompleksitas yang lebih sesuai dengan kemampuannya ang lebih tinggi dari siswa atau anak biasa.
Selain dari kedua proposisi tersebut Semiawam 1997 dalam bukunya Perspektif Pendidikan Anak Berbakat yang dikutip dari proposisi Carrol dalam Ward 1980 dan Kitano and Kirby mengatakan.
1. Perilaku intelektual, tingkat abstraksi dan aspek teoritis anak menunjukkan karakteristik mental yang berbeda dalam kecepatan meilhat hubungan yang bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi logis, mudah mengadaptasikan prinsip abstrak ke situasi konkret dengan mengkaji komponen situasi yang identic, serta mampu menggeneralisasikan. Dalam hal ini anak didik harus lebih banyak diarahkan ke dalam dari pada ke perilaku yang bersifat lahirah (Semiawan 1997;114)
2. Anak yang berbakat memerlukan konsiderasi khusus dalam pendidikannya, sebab anak didik (berbakat) secara kualitatif berbeda dari anak didik (tidak berbakat) yang lain.
3. Progaram pendidikan berbakat harus berbeda dari program pendidikan bagi peserta didik lainya. Dengan penekanan luar biasa pada perkembangan kreativitas dan proses berfikir tinggi.
4. Pembelajaran pada anak yang berbakat seharusnya perluh pencegahan pada bidang penghafalan . Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan tekanan pada teknik discovery oriented (berorientasi pada penemuan) and pendekatan induktif.
Dari beberapa proporsi diatas bisa digunakan guru untuk merancang education and leyanan pendidikan yang berdifrensiasi. Jika peserta didik (anak) tidak mencapai standar kompetensi atau tujuan pembelajaran, itu dikarenakan tidak disedikan waktu yang cukup sesuai dengan kebutuhan peserta didik atau karena time yang diberikan cukup tetapi tidak digunakan dengan baik (sunggu – sunggu), Winkel (1996: 414). Tingkat keberhasilan atau penguasaan materi atau bahan yang diberikan tergantung pada waktu yang disediakan.
Contohnya anak didik yang disediakan waktu belajar 4 jam tetapi yang di gunakan hanya 3 jam, maka tingkat keberhasilan atau penguasaannya hanya akan mencapai 65 % dari target yang telah ditentukan (tujuan pembelajaran). Selain berpatokan pada waktu dan kecepatan peserta didik, keberhasilan juga ditentukan kwalitas guru dalam menyampaikan bahan ajaran serta kemahairan anak didik dalam menyerap atau menangkap materi yang disajikan (baik tertulis maupun lisan).
Reff:
Yamin, Drs. H. Martinis, M. Pd. 2006. Profesionalisasi Guru and Implementasi, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Gaung Persada Press. Jakarta
Mukhtar, Martinis, (2001). Metode Pembelajaran yang Berhasil, Sesama Mitra Suksesa. Jakarta
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Winkel, WS., 1996. Psikologi Belajar, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Komentar
Posting Komentar